Senin, 03 November 2008

Kredit sebagai usaha perbankan yang paling beresiko

A. Pengantar
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa suatu bank kegiatan usahanya harus sesuai dengan jenis banknya yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya.[1]
Jasa perbankan sesuai bila kita melihat dari karakteristiknya, maka bentuknya adalah[2]: tidak berwujud, tidak dapat dipisahkan yaitu melekat pada sumbernya, tidak dapat disimpan untuk persediaan. Sedangkan bila dilihat dari kegiatan lembaga perbankan tersebut, maka kegiatan lembaga perbankan berupa:[3]
1. Financial Intermediary ,
Bank sebagai lembaga perantara keuangan sebagai bentuk kegiatan utamanya, dimana bank memperoleh pendapatannya dari bunga.
2. Delivery System,
bentuk kegiatan di bidang administrasi dan layanan perbankan, dimana bank memperoleh pendapatannya melalui fee atau imbalan.
Dalam ketentuan Undang-Undang Perbankan khususnya pada Bab III tentang Jenis dan Usaha Bank pada pasal 6 dan 7 yang mengatur mengenai jasa perbankan yang dapat dilaksanakan dan diberikan kepada masyarakat dari sebuah bank umum. Kegiatan tersebut antara lain:
1. Penghimpunan dana dari masyarakat
Bentuk penghimpunan dana dari masyarakat dilakukan melalui penerimaan simpanan dari masyarakat. Pelayanan jasa berupa penghimpunan dana dari masyarakat dapat berupa simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya.
2. pemberian kredit
dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu dari simpanan berupa tabungan, giro, atau deposito akan diedarkan kembali ke masyarkat
3. penerbitan surat pengakuan hutang
bank dapat memberikan surat pengakuan hutang baik jangka panjang maupun berjangka pendek.
4. jual beli surat berharga atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya
5. pemindahan uang
bank dapat melakukan pengiriman uang baik dalam rupiah maupun dalam mata uang asing yang ditujukan kepada pihak tertentu ditempat yang berbeda berdasarkan kepentingannya sendiri mauopun kepentingan nasabah.
6. penempatan dana pada bank lainya, meminjam dana dari atau meminjam dana kepada bank lainnya
usaha ini dlakukan dengan menggunakan surat, wasel unjuk, cek, promissory note dan lain-lain
7. penerimaan pembayaran tagihan surat berharga
8. penyimpanan barang dan surat berharga
9. menerima penitipan untuk kepentingan pihak lain
10. penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek
11. usaha anjak piutang (Factoring), kartu kredit dan kegiatan wali amanat
12. pembiayaan dengan prinsip syariah
13. melakukan kegiatan dalam valuta asing
14. melakukan penyertaan modal pada bank antara perusahaan lain di bidang keuangan
15. pengurusan dan pendirian dana pensiun
16. melakukan kegiatan lain yang lazinm dilakukan oleh bank.
Bank umum dalam kegiatan usahanya dapat menawarkan dan melakukan seluruh jasa perbankan tersebut (Full Banking Service) maupun sebagian saja dari seluruh daftar positif list usaha perbankan.

B. Kredit Sebagai Kegiatan Bank Umum Yang Paling Berisiko
Diantara kegiatan usaha Bank Umum ini, dapat kita lihat bahwa sesungguhnya kegiatan usaha Bank Umum adalah kegiatan yang memiliki risiko. Namun diantara kegiatan tersebut, maka pemberian kredit merupakan kegiatan perbankan yang memiliki risiko paling tinggi karena kredit merupakan kegiatan usaha yang paling utama dan merupakan sumber pendapatan terbesar dari seluruh kegiatan bank yang lain dengan mendapatkan bunga serta provisi[4]. Dan kegiatan kredit memiliki risiko yang berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha perbankan[5]. Kredit juga berfungsi sebagai[6]:
1. meningkatkan daya guna uang,
2. meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang,
3. meningkatkan daya guna dan peredaran barang,
4. sebagai alat stabilitas ekonomi,
5. meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat.
Unsur-Unsur Dan Pengertian Mengenai Perkreditan
Yang menjadi unsur dari kredit adalah[7]:
1. kepercayaan, yaitu keyakinan dari kreditur bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, dan jasa akan benar-benar diterima kembali
2. adanya tenggang waktu, yaitu masa yang memisahkan antara saat pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3. adanya degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya tenggang waktu.
4. prestasi, yaitu objek kredit baik berbentuk uang maupun barang atau jasa. Namun pemberian kredit saat ini banyak ditemukan hanya pemberian kredit yang menyangkut uang.
Unsur diatas kita hanya melihat pengertian kredit dalam arti sempit. Sedang dalam arti yang luas kita akan melihat Usaha kredit tidak hanya terbatas merupakan suatu kegiatan peminjaman kepada nasabah, namun menyangkut keterkaitan dengan sumber dana kredit, alokasi dana, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan perkreditan, dokumentasi dan administrasi perkreditan, pengawasan perkreditan dan juga penyelesaian kredit bermasalah.
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga[8]. Berdasarkan pasal tersebut terdapat beberapa unsur perjanjian kredit yaitu :
1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu;
2. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
3. Terdapat kewajiban pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktru tertentu;
4. Pelunasan utang yang disertai dengan bunga.
Unsur pertama dari perjanjian Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu; uang di sini seiogianya ditafsirkan sebagai sejumlah dana (tunai dan saldo rekening giro) baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Dalam pengertian “penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu” adalah cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang (factoring) dan pengambilalihan (pembelian) kredit atau piutang dari pihak lain seperti negosiasi hasil ekspor.
Unsur kedua dari perjanjian kredit adalah persetujuan atau kesepakatan antara bank dan debitur. Sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, agar suatu perjanjian menjadi sah diperlukan empat syarat, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, terdapat obyek tertentu dan ada suatu kausa (cause) yang halal. Selain kesepakatan antara debitur dan kreditur juga diperlukan ketiga
syarat lain tersebut di atas sebagai dasar untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian.
Unsur ketiga dari perjanjian kredit adalah adanya kewajiban debitur untuk mengembalikan jumlah keseluruhan kredit yang dipinjam kepada kreditur dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya hubungan pinjam meminjam antara debitur dan kreditur.
Unsur yang terakhir adalah adanya pengenaan bunga terhadap kredit yang dipinjamkan. Bunga merupakan nilai tambah yang diterima kreditur dari debitur atas sejumlah uang yang dipinjamkan kepada debitur.

C. Manajemen Risiko Pemberian Kredit Sebagai Upaya Penanganan Risiko Pemberian Kredit
Pemberian kredit tidak dapat dengan hanya percaya, namun juga harus disertai dengan cara didalam melakukan manajemen risiko kredit, Kasus Sub Prime Mortage yang terjadi di Amerika Serikat merupakan salah satu contoh kegagalan dalam melakukan manajemen risiko kredit dan kegagalan dalam penerapan prinsip kehati-hatian. Kegagalan ini terjadi karena Amerika Serikat pada tahun 2001-2004 mengambil kebijakan penerapan suku bunga bank central yang rendah pada posisi 1-1,75 persen[9]. Sehingga pemberian kredit perumahan mengalami masa-masa emasnya. Sayangnya pihak mortage lenders mengenyampingkan prinsip 5 C (Character, Collateral, capacity, capital dan condition of economic) dalam memberikan kreditnya dengan pandangan bila gagal bayar lender tinggal melakukan penyitaan dan menjual kembali rumah yang dikreditkannya. Dan untuk mendanai kredit tersebut, Lender pada umumnya meminjam pada pihak lain dananya sebagai pinjaman jangka pendek sedangkan kredit yang diterbitkan lender adalah pinjaman jangka panjang. sehingga pada pertengahan 2004, bank central Amerika Serikat meningkatkan tingkat suku bunga hingga pada agustus 2007 tingkat suku bunga menjadi 5,25%[10]. Kenaikan ini mengakibatkan terjadinya gagal bayar secara besar-besaran pada kredit perumahan, sehingga lender pun gagal membayar hutangnya kepada pihak ketiga, merupakan salah satu contoh kasus betapa pentingnya dan betapa besarnya risiko yang ditimbulkan dari pemberian kredit.
Sebelum kita membahas mengenai manajemen risiko kredit, maka kita terlebih dahulu akan melihat pengertian risiko dari kredit (Credit Risk). Resiko kredit adalah suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya.
Risiko kredit merupakan risiko yang paling signifikan dari semua risiko yang menyebabkan kerugian potensial. Risiko kredit adalah risiko yang terjadi karena kegagalan debitur, yang menyebabkan tak terpenuhinya kewajiban untuk membayar hutang. Secara garis besar, risiko kredit dapat dibagi menjadi 3 (tiga)[11]: risiko default, risiko exposure, dan risiko recovery. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas Bank, antara lain: pemberian kredit, transaksi derivatif, perdagangan instrumen keuangan, serta aktivitas Bank yang lain, termasuk yang tercatat dalam banking book maupun trading book.
Joel Bessis menyatakan, Manajemen risiko kredit mencakup dua hal, yaitu risiko proses putusan kredit, sebelum putusan dibuat sampai menindaklanjuti komitmen kredit, ditambah risiko pemantauan dan proses laporan. Selanjutnya diperlukan pengukuran dari risiko kredit, antara lain menggunakan : limit systems and credit screening, risk quality and ratings, serta credit enhancement[12]. Sedangkan menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia), dinyatakan bahwa proses Manajemen Risiko Bank sekurang-kurangnya mencakup pendekatan pengukuran dan penilaian risiko, struktur limit dan pedoman serta parameter pengelolaan risiko, sistim informasi manajemen dan pelaporannya, serta evaluasi dan kaji ulang manajemen[13]. Bank perlu melakukan manajemen terhadap risiko kredit yang melekat pada seluruh portofolio, yaitu dengan mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan modal yang tersedia cukup, dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul.
Stanley Fisher, menyatakan pengukuran diperlukan untuk memperbaiki manajemen risiko dan mengurangi vulnerability, yang harus dilakukan sebagai bagian penting dalam strategi regional jangka panjang. Kehati-hatian dan pengawasan sistem diperlukan agar dapat bertindak cepat dalam mengantisipasi pertumbuhan pasar yang cepat.[14] Sehingga bila aturan dasar mengenai manajemen risiko pemberian kredit ini dilaksanakan dengan baik, diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan timbulnya risiko kredit.
D. Regulasi Bank Indonesia Mengenai Pemberian Kredit Perbankan
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.
UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Beberapa regulasi dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai:
Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum,
Pada umumnya bank dalam melakukan kegiatan usahanya terutama menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan pada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas-azas perkreditan yang sehat guna melindungi dan Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :
· prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
· organisasi dan manajemen perkreditan;
· kebijakan persetujuan kredit;
· dokumentasi dan administrasi kredit;
· pengawasan kredit;
· penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah disusun secara konsekuen dan konsisten.
Batas Maksimal Pemberian Kredit,
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran (diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenaldengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan dasar pengaturan dalam UU Perbankan. Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut, BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.
Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu.
Penilaian Kualitas Aktiva,
Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional pada saat ini maupun di waktu yang akan datang masih tetap dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola secara efektif akan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak efektif antara lain disebabkan kelemahan dalam penerapan kebijakan dan prosedur penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan dalam mengelola portofolio aset bank, serta kelemahan dalam mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas penyediaan dana.
Untuk memelihara kelangsungan usahanya, bank perlu meminimalkan potensi kerugian atas penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, pengurus bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait dengan transaksi-transaksi tersebut. Hal di atas diatur dalam PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI tersebut mewajibkan bank (dalam hal ini Direksi) untuk menilai, memantau dan mangambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva (meliputi Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif) senantiasa baik.
Sistem Informasi Debitur,
Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan dapat dicapai apabila didukung oleh sistem informasi yang utuh dan komprehensif mengenai profil dan kondisi debitur, terutama debitur yang sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses kredit, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dapat mendukung percepatan proses analisa dan pengambilan keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan manajemen risiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur. Selain itu tersedianya informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitur di antara bank pelapor.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia mengembangkan sistem informasi debitur yang dari waktu ke waktu selalu disempurnakan untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.
Ketentuan mengenai sistem informasi debitur tersebut diatur dalam PBI No. 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur. Berdasarkan ketentuan PBI tersebut, bank umum, penyelenggara kartu kredit selain bank dan BPR yang memiliki total aset Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih wajib menyampaikan laporan debitur kepada Bank Indonesia setiap bulan meliputi informasi mengenai debitur, pengurus dan pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin dan laporan keuangan debitur (bagi debitur yang merupakan nasabah perusahaan atau badan yang menerima penyediaan dana Rp 5.000.000.000,00 atau lebih).
Sementara, Lembaga Keuangan Bukan Bank (antara lain meliputi asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan) dan BPR yang memiliki total aset kurang dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat menjadi pelapor dalam Sistem Informasi Debitur dengan menandatangani surat pernyataan keikutsertaan anggota.
Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan dapat meminta informasi debitur kepada Bank Indonesia meliputi antara lain identitas debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas penyediaan dana yang diterima debitur, agunan, penjamin dan atau kolektibilitas. Informasi yang diperoleh pelapor tersebut hanya dapat digunakan untuk keperluan pelapor dalam rangka penerapan manajemen risiko, kelancaran proses penyediaan dana, dan atau identifikasi kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku. Serta batasan-batasan lain yang dilakukan oleh pemerintah dan bank indonesia.




E. Kesimpulan
Diantara kegiatan perbankan yang dilakukan oleh bank umum, maka kredit lah yang merupakan kegiatan perbankan yang paling berisiko, karena merupakan kegiatan usaha yang paling utama dan merupakan sumber pendapatan terbesar dari seluruh kegiatan bank yang lain dengan mendapatkan bunga serta provisi. Dan kegiatan kredit memiliki risiko yang berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha perbankan itu sendiri.
Manajemen risiko pemberian kredit merupakan salah satu mekanisme yang dapat dilakukan oleh bank umum didalam maminimalisir kemungkinan timbulnya risiko akibat pemberian kredit.
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.










Daftar Pustaka

Best Philip, Impementing Value at Risk. West Sussex; John Wiley & Sons LTD, 1998
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra aditya bakti, Bandung; 2003
Fisher S, Risk Management in Top Priority in Bank Restructuring, Boston Counsulting, Jakarta 2001
Ramlan Ginting, Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum, disampaikan dalam diskusi hukum perbankan di Bandung 2005
Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta 1990

Undang-Undang Dan Peraturan Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur
Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum
[1] Lihat penjelasan pasal 6 UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan
[2] Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra aditya bakti, Bandung; 2003, hlm 287
[3] Ibid,
[4] Ibid, hlm 365
[5] Ramlan Ginting, Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum, disampaikan dalam diskusi hukum perbankan di Bandung 2005
[6] Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta 1990, hal. 14-16
[7] Ibid, hlm 12-13
[8] Lihat pasal 1 angka 11 undang undang perbankan
[9] Kompas 3 Oktober 2008, “Subprime Mortage dan Bailout”
[10] Ibid,
[11] Thomas Suyatno, ,loc cit, hlm 24
[12] Best Philip, Impementing Value at Risk. West Sussex; John Wiley & Sons LTD, 1998
[13] Peraturan Bank Indonesia No5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
[14] Fisher S, Risk Management in Top Priority in Bank Restructuring, Boston Counsulting, Jakarta 2001

1 komentar:

MRS KABU LAYU mengatakan...

Halo, semuanya, tolong, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman yang benar-benar mengubah hidup saya dari kemiskinan menjadi seorang wanita kaya dan sekarang saya memiliki kehidupan yang sehat tanpa tekanan dan kesulitan keuangan,

Setelah berbulan-bulan mencoba mendapatkan pinjaman di internet dan saya telah ditipu dari 400 juta, saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari kreditor online yang sah dalam kredit dan tidak akan menambah rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk meminta saran kepada teman saya tentang bagaimana cara mendapatkan pinjaman online, kami membicarakannya dan kesimpulannya adalah tentang seorang wanita bernama Mrs. Maria yang adalah CEO Maria Loan. Perusahaan

Saya mengajukan jumlah pinjaman (900 juta) dengan suku bunga rendah 2%, sehingga pinjaman yang disetujui mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan dengan transfer kredit, karena fakta bahwa itu tidak memerlukan jaminan untuk transfer. pinjaman, saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah disetorkan ke rekening bank saya.

Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya telah dikreditkan dengan jumlah 900 juta. Saya sangat senang bahwa akhirnya Tuhan menjawab doa saya dengan memesan pemberi pinjaman saya dengan kredit saya yang sebenarnya, yang dapat memberikan hati saya harapan.

Terima kasih banyak kepada Ibu Maria karena telah membuat hidup saya adil, jadi saya menyarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Ibu Maria dengan baik melalui E-mail (mariaalexander818@gmail.com) ATAU Via Whatsapp (+1 651-243 -8090) untuk informasi lebih lanjut tentang cara mendapatkan pinjaman Anda,

Jadi, terima kasih banyak telah meluangkan waktu Anda untuk membaca tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda.
Nama saya adalah kabu layu, Anda dapat menghubungi saya untuk referensi lebih lanjut melalui email saya: (kabulayu18@gmail.com)

Terima kasih semua.