Senin, 24 November 2008

sekilas mengenai hukum acara peradilan tata usaha negara


Kedudukan peradilan tata usaha Negara berdasarkan pada pasal 10 Undang-Undang No.14 tahun 1970 mengenai pokok-pokok kekuasaan kehakiman (sekarang telah direvisi dengan UU No.4 tahun 2004) mengenai sistem peradilan yang ada di Indonesia. Secara sejarahbahwapada tahun 1964 bahwa kedudukan peradilan tata usaha Negara samadengan peradilan lainnya dimana dengan lahirnya Undang-undang No.4 tahun 1986 terjadi masa transisi artinnya masa sebelum tahun 1986 sebelum adanya peradilan administrasi Negara yang baru ada lembaganya sekitar tahun 1986 setelahadanya undang-undang tersebut, sehingga barulah peradilan tersebut dapat berjalan efektif dilakukan dimasa itu. Objek dari peradilan itu sendiri merupakan objekhukum administrasi Negara dimana keuinikannya dari peradilan tatausaha Negara bahwa adanya hubungan yang vertical dimana adanya posisi penguasa dan rakyat yang artinya danya ketidaksederajatan atau ketidakpuasan diantaranya atau salah satu pihak.
Terkait dengan lahirnya paham welfare state atau Negara kesejahteraan, secara sederhana memposisikan adanya suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Negara pada masyarakat. Paham itu selalu memposisikan apa yang harus masyarakat berikan itu demikian maksimal dan tidak terbatas, karena masyarakat itu sealu berubah-ubah posisi, masyarakat itu tetap tidak tetap sehingga deskripsi terhadap keinginannya harus medekati deskripsi apa yang masyarakat butuhkan. Akibatnya jika tuntutan yang sedemikian besar yang diajukan pemerintah. Maka pemerintah wajib melayani masyarakat. Bila kita melihat pada pertimbangan UU No.5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera,aman, tentram serta tertib, yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur dibidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat. Atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa Negara seharusnya menjamin kesejahteraan, keamanan dan ketertiban dimasyarakat dan dengan salah satu upayanya adalah dengan menciptakan suatu perangkat yang dapat mengatur agar terciptanya dan terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras diantara aparatur Negara dengan masyarakat Indonesia. Dan dapat kita lihat bahwa suatu keadaan dimana masyarakat menggantungkan semua harapan pada pemerintah,maka masyarakat juga harus memberikan keleluasaan yang sebesar-besarnya kepada pemerintah. Dan pada kondisi seperti ini, menurut Sjachan Basah, posisi undang-undang itu sesuatu yang harus dilaksanakan tidak hanya oleh pemerintah tetapi oleh masyarakat itu sendiri. Dimana pemerintah sebagi konseptor pembanguna dalam konteks regulasi dan sebagai penyelenggaranya dimana masyarakat itu juga harus ikut terlibat, tunduk dan harus terima jika perlu dengan banyaknya perangkat peraturan.
Bila kita melihat pertimbangan kedua pada Undang-Undang No.8 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa
“bahwa dalam mewujudkan tatakehidupan tersebut, dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional yang bertahap, diusahakan untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur dibidang Tata Usaha Negara, agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat.”
Undang-Undang yang juga dapat dikatakan sebagai seperangkat peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang bertujuan didalam:
pembinaan aparatur negara
penertiban aparatur negara
penyempurnaan aparatur Negara.
Peraturan ini dapat mewujudkan tujuannya tersebut bila ditunjang dengan lembaga peradilan yang kuat sehingga peradilan tersebut dapat menembus batasan antara eksekutif dan legislative.dan bila kita melihat pada teori Montesque hanya akan menciptakan bentuk yang formal saja
Bila kita melihat pada pertimbangan ketiga dari Undang-Undang No.8 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
“bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan suatu kondisi sehingga setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada kemungkinan timbul benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan warga Negara masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional”
Berdasarkan pertimbangan diatas dapat kita lihat bahwa undang-undang ini pun mengakui akan terjadinya perselisihan-perselisihan yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara para pejabat tata usaha Negara dan menganggap bahwa perselisihan sebagai penghambat jalannya kebijakan pemerintah itu sendiri.selain merugikan masyarakat.
Undang-undang sebagai bentuk perwujudan dari bentuk peraturan yang memiliki maksud agar masyarakat menerima kebijakan pemerintah sehingga terciptanya suasana yang kondusif dengan segala mekanisme, kebijakan pemrintah adalah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan Negara. Dan adanya undang-undang serta didukung dengan adanya badan peradilan tata usaha Negara ditujukan untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum pada saat terjadinya sengketa antara badan pemerintah dan masyarakat.
Menurut Sjahran Basah menyebutkan bahwa peraturan Tata Usaha Negara itu memiliki panca fungsi, yaitu:
Fungsi Directive
Menurut teori fungsi directive ini peraturan Tata Usaha Negara diposisikan sebagai pengarah untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan kehendak dari Negara sehingga menurut teori ini bahwa peraturan tersebutakan menciptakan suatu keadaan yang kondusif agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat diterima oleh masyarakat.
Fungsi Integratif
Menurut teori fungsi integrative ini peraturan Tata Usaha Negara dipandang atau diharapkan dapat berperan sebagai Pembina kesatuan bangsa sehingga menciptakan posisi-posisi tertentu yang harus menjadi prioritas dalam rangka pengukuhan ikatan persatuan nasional


Fungsi Stabilitas
Menurut teori fungsi stabilitas ini peraturan Tata Usaha Negara dianggap atau diharapkan sebagai alat yang dapat menjaga keselarasan atau keserasian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga dapat mendukung terlaksananya atau tercapainya tujuan dari Negara,
Fungsi perfective
Menurut teori fungsi perfective ini, peraturan Tata Usaha Negara dianggap atatu diharapkan sebagai penyempurna tindakan-tindakan para pejabat administrasi Negara dan sikap tindak warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
fungsi corrective
menurut teori fungsi corrective ini, peraturan Tata Usaha Negara dianggap sebagai suatu alat yang dapat dijadikan sarana pemeriksaan tindakan dari warga Negara maupun tindakan dari administrasi Negara didalam menjalankan kewenangannya didalam rangka pencapaian dari tujuan Negara.
Disamping kelima teori diatas yang menggambarkan mengenai fungsi dari peraturan Tata Usaha Negara, maka juga haruslah ditunjang dengan suatu lembaga peradilan yang baik pula.
Suatu Negara yang menginginkan peradilan yang berkualitas baik, yang diterima oleh lapisan-lapisan masyarakat yang luas, harus didasarkan undang-undang dasar dan pereundang-undangan yangdijadikan dasar itu, sejumlah jaminan. Dan cirri khas yang paling pokok dari kedudukan para hakim adalah ketidaktergantungan mereka.tida ada badan Negara satupun, maupun pembuat undang-undang atau suatu badan pemerintah, yang berwenagan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada seorang hakim dalam suatu perkara yang kongkrit atau mempengaruhi secara berlainan terhadap putusan dari perkara tersebut.
Hakim memutuskan sendiri, memberi interpretasi sendiri atas kewenangannya sendiri, dan tidak terikat pada hukum. Seorang hakim tidak hanya tergantung kepada siapapun, namun dia juga tidak berpihak. Dia tidak boleh berlandaskan dasar-dasar yang tidak termasuk dalam hukum yang menguntungkan salah satu pihak yang tersangkut pada persengketaan yang dihadapkan kepadanya. Dia juga tidak boleh mengutamakan kepentingan-kepentingan ataupun pendirian-pendirian politik dan sosial dari dia sendiri dalam keputusan-keputusannya. Selaknya, pertam-tama dia harus mengarah kepada teks undang-undang dan kemudian pada penjelasan dan interpretasi dari undang-undang itu mencari hubungan pada tujuan-tujuan pembuat undang-undang dan pada keyakinan-keyakinan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu untuk suatu peradilan yang baik sangatlah dibutuhkan adanya:
hakim-hakim yang berkualitas baik. Dengan adanya seleksi dan penggajian adalah penting sekali
kemungkinan bagi si warga untuk selalu mempunyai jalan atau meminta antuan kepada seorang hakim.
pemutusan dalam persengketaan itu dalam waktu yang wajar.
penetapan suatu hukum acara yang baik, yang mana dasar-dasar tata acara yang elementer telah ditentukan
kemungkinan-kemungkinan naik banding dan atau kasasi, untuk memperbaiki kesalahsan-kesalahn yang mungkin ada dari hakim-hakim rendahan kepada yang lebih tinggi
jaminan-jaminan bahwa keputusan para hakim juga sungguh-sungguh dilaksanakan.



Sumber:
Catatan perkuliahan.
Undang-Undang No.8 tahun1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara
Pengantar Hukum Administrasi Negara, Philipus M. Hadjon
Eksitensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Sachran Basah


Senin, 03 November 2008

BANTUAN LIKUIDITAS PERBANKAN DI INDONESIA DAN AMERIKA

Pengantar
Black law dictionary memberikan pengertian bahwa “Mortage is an interest in land created by a written instrument providing security for the performance of a duty or the payment of a debt” atau dapat kita simpulkan bahwa mortage merupakan suatu instumen hutang antara peminjam dan pemberi pinjaman yang didalamnya terdapat suatu penyerahaan mengenai hak atas benda.
Pada dasarnya Mortage terbagi menjadi prime mortage dan subprime mortage[1] . Yang membedakan antara keduanya terletak pada resiko, dimana resiko pada subprime mortage lebih besar sehingga dikenakan tingkat bunga yang juga lebih besar bila dibandingkan dengan prime mortage.
Amerika Serikat pada tahun 2001-2004 mengambil kebijakan penerapan suku bunga bank central yang rendah pada posisi 1-1,75 persen[2]. Sehingga pemberian kredit perumahan mengalami masa-masa emasnya. Sayangnya pihak mortage lenders mengenyampingkan prinsip 5 C dalam memberikan kreditnya dengan pandangan bila gagal bayar lender tinggal melakukan penyitaan dan menjual kembali rumah yang dikreditkannya. Dan untuk mendanai kredit tersebut, Lender pada umumnya meminjam pada pihak lain dananya sebagai pinjaman jangka pendek sedangkan kredit yang diterbitkan lender adalah pinjaman jangka panjang. sehingga pada pertengahan 2004, bank central Amerika Serikat meningkatkan tingkat suku bunga hingga pada agustus 2007 tingkat suku bunga menjadi 5,25%[3]. Kenaikan ini mengakibatkan terjadinya gagal bayar secara besar-besaran pada kredit perumahan, sehingga lender pun gagal membayar hutangnya kepada pihak ketiga. Sedangkan aset rumah yang disita tidak mudah untuk dijual kembali. Hal ini diperburuk dengan tindakan pihak ketiga yang melikuidasi investasinya sehingga terjadinya Credit Crunch pada saat lender juga membutuhkan likuidasi. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai penyebab utama terjadinya krisis subprime mortage.
Krisis subprime mortage di Amerika Serikat telah menelantarkan banyak pihak. Indeks saham yang diperdagangkan mengalami kemerosotan, terjadinya kredit macet di sektor perumahan dan instrumen efek beragun aset di pasar keuangan pun mengalami kemerosotan tidak hanya di Amerika tetapi juga di kawasan Eropa dan Asia khususnya Jepang karena perbankan jepang sangat agresif dalam berinvestasi pada produk yang mempunyai pasar luas di Amerika Serikat.
Efek global ini lah yang mengakibatkan negara-negara dunia mengambil langkah-langkah bantuan likuiditas di sektor perbankan, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, kita akan melakukan perbandingan antara langkah bantuan likuiditas yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat.
Bantuan Likuiditas Perbankan Indonesia
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, tidak hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan perbankan dan sistem pembayaran.
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah[4]:
Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut Inflitation targeting framework.
Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.
Dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort. Bank Indonesia memberikan bantuan likuidasi bank indonesia atau yang lebih sering dikenal dengan BLBI guna membantu bank-bank umum yang tidak memenuhi giro wajib minimumnya dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia.
Pada saat krisis moneter tahun 1997-1998, Bank Indonesia menyalurkan BLBI mencapai Rp 144,54 Triliun yang dikategorikan menjadi beberapa kebijakan, yaitu :
1. BLBI ditujukan untuk mengatasi kesehatan likuiditas bank, yaitu saldo debet, SBPUK, dan fasilitas diskonto sebesar Rp. 129,40 Triliun,
2. Dalam rangka pembayaran seluruh sisa dana masyarakat pada 116 bank dalan Likuidasi dan Beku Operasi sebesar Rp. 6,015 Triliun,
3. BLBI merupakan dana talangan untuk pembayaran tunggakan trade finance kepada kreditur luar negeri sebesar Rp. 9,13 Triliun.
Bagi bank-bank yang tidak sehat, sebagai upaya penyelamatannya diupayakan untuk digabung, akuisisi ataupun merger dengan bank-bank yang sehat. Sedangkan untuk bank-bank yang sehat akan dibantu oleh pemerintah dalam menyediakan likuiditasnya.
Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam kerangka JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada prinsipnya Departemen Keuangan bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.
Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang JPSK yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.
Menghadapi krisis sektor perbankan saat ini, Bank Indonesia menurut Miranda S Gultom selaku Deputi senior Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa BI telah menyiapkan liqiuduty support yang dapat digunakan sebagai sarana penyelamatan sector perbankan di Indonesia. Dan juga dengan memberikan kelonggaran melalui peraturan bank Indonesia yang merubah giro wajib minimum BI juga akan memperluas repurchase agremeent (repo) surat berharga, yang berupa surat utang negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Aturan itu juga memperkuat fungsi bank sentral sebagai the lender of the last resort guna membantu likuiditas perbankan yang tengah diterpa badai krisis global.[5]
Bantuan Likuiditas Perbankan Amerika Serikat
Krisis dunia perbankan yang disebabkan terjadinya subprime mortage crisiss yang mengakibatkan terjadinya credit crunch menyebabkan Pemerintah Amerika Serikat melalui department keuangannya mengeluarkan dana sebesar $ 700 miliar sebagai dana talangan guna menyelamatkan perekonomiannya.
Bailout ini memberikan wewenag pemerintah untuk mengambil alih investasi yang bermasalah. Departemen Keuangan Amerika Serikat sebagai otoritas berwenang untuk menentukan pembelian aset yang tidak bagus. Dana yang digunakan untuk membeli aset-aset tersebut sebesar $ 700 Miliar Dollar, dengan perincian :
$ 250 Miliar Dollar akan dikeluarkan pada awal program,
$100 Miliar Dollar memerlukan persetujuan Presiden,
$ 350 Miliar Dollar memerlukan persetujuan Kongress
Sebagai Imbalan bagi Pemerintah, maka Pemerintah AS akan menjadi pemilik saham diperusahaan yang mendapatkan dana talangan lebih dari $ 100 juta dollar AS. Pemerintah AS menetapkan aset yang boleh diselamatkan hanya milik warga AS dan dibeli sebelum tanggal 14 Maret 2008, sedangkan aset yang tidak diselamatkan adalah aset-aset yang dimiliki oleh asing. sebagai jaminannya jika Pemerintah merugi setelah 5 tahun, maka pemerintah akan memberikan pajak perusahaan untuk menutupi kerugian. Jika perusahaan yang menerima bantuan gagal, maka pemerintah akan menanggung kerugian. Pemerintah AS juga memberikan pembatasan pada perusahaan “Fat Cats” , yaitu perusahaan yang mendapatkan talangan lebih dari $ 300 juta harus dibatasi gaji, bonus untuk eksekutif.
Rencana Bailout ini hanya mengurangi tekanan penjualan portofolio, khususnya saham dan diharapkan kebutuhan likuiditas bisa dipenuhi dari penjualan surat utang Subprime Mortgage kepada Pemerintah. Tindakan penyelamatan ini sebagaimana yang dimaksud dalam Emergency Economic Stabilization Act of 2008 yang merupakan produk yang dikeluarkan oleh departmen keuangan yang telah di konsultasikan dengan dewan gubernur The Federal Reserve, The FDIC, The Controller of the Currency, dan The Director of The Office of thrift supervision adn the secretary of housing and urban development.[6]
[1] www.wordprees.com, ”Krisis Financial (3): Menganalisa subprime mortage”
[2] Kompas 3 Oktober 2008, “Subprime Mortage dan Bailout”
[3] Ibid,
[4] www.bi.go.id, “Peran BI dalam Stabilitas Keuangan”
[5] www.tempointeraktif.com, 11 oktober 2008
[6] www.tempointeraktif.com, sabtu 4 oktober 2008

Kredit sebagai usaha perbankan yang paling beresiko

A. Pengantar
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa suatu bank kegiatan usahanya harus sesuai dengan jenis banknya yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya.[1]
Jasa perbankan sesuai bila kita melihat dari karakteristiknya, maka bentuknya adalah[2]: tidak berwujud, tidak dapat dipisahkan yaitu melekat pada sumbernya, tidak dapat disimpan untuk persediaan. Sedangkan bila dilihat dari kegiatan lembaga perbankan tersebut, maka kegiatan lembaga perbankan berupa:[3]
1. Financial Intermediary ,
Bank sebagai lembaga perantara keuangan sebagai bentuk kegiatan utamanya, dimana bank memperoleh pendapatannya dari bunga.
2. Delivery System,
bentuk kegiatan di bidang administrasi dan layanan perbankan, dimana bank memperoleh pendapatannya melalui fee atau imbalan.
Dalam ketentuan Undang-Undang Perbankan khususnya pada Bab III tentang Jenis dan Usaha Bank pada pasal 6 dan 7 yang mengatur mengenai jasa perbankan yang dapat dilaksanakan dan diberikan kepada masyarakat dari sebuah bank umum. Kegiatan tersebut antara lain:
1. Penghimpunan dana dari masyarakat
Bentuk penghimpunan dana dari masyarakat dilakukan melalui penerimaan simpanan dari masyarakat. Pelayanan jasa berupa penghimpunan dana dari masyarakat dapat berupa simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya.
2. pemberian kredit
dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu dari simpanan berupa tabungan, giro, atau deposito akan diedarkan kembali ke masyarkat
3. penerbitan surat pengakuan hutang
bank dapat memberikan surat pengakuan hutang baik jangka panjang maupun berjangka pendek.
4. jual beli surat berharga atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya
5. pemindahan uang
bank dapat melakukan pengiriman uang baik dalam rupiah maupun dalam mata uang asing yang ditujukan kepada pihak tertentu ditempat yang berbeda berdasarkan kepentingannya sendiri mauopun kepentingan nasabah.
6. penempatan dana pada bank lainya, meminjam dana dari atau meminjam dana kepada bank lainnya
usaha ini dlakukan dengan menggunakan surat, wasel unjuk, cek, promissory note dan lain-lain
7. penerimaan pembayaran tagihan surat berharga
8. penyimpanan barang dan surat berharga
9. menerima penitipan untuk kepentingan pihak lain
10. penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek
11. usaha anjak piutang (Factoring), kartu kredit dan kegiatan wali amanat
12. pembiayaan dengan prinsip syariah
13. melakukan kegiatan dalam valuta asing
14. melakukan penyertaan modal pada bank antara perusahaan lain di bidang keuangan
15. pengurusan dan pendirian dana pensiun
16. melakukan kegiatan lain yang lazinm dilakukan oleh bank.
Bank umum dalam kegiatan usahanya dapat menawarkan dan melakukan seluruh jasa perbankan tersebut (Full Banking Service) maupun sebagian saja dari seluruh daftar positif list usaha perbankan.

B. Kredit Sebagai Kegiatan Bank Umum Yang Paling Berisiko
Diantara kegiatan usaha Bank Umum ini, dapat kita lihat bahwa sesungguhnya kegiatan usaha Bank Umum adalah kegiatan yang memiliki risiko. Namun diantara kegiatan tersebut, maka pemberian kredit merupakan kegiatan perbankan yang memiliki risiko paling tinggi karena kredit merupakan kegiatan usaha yang paling utama dan merupakan sumber pendapatan terbesar dari seluruh kegiatan bank yang lain dengan mendapatkan bunga serta provisi[4]. Dan kegiatan kredit memiliki risiko yang berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha perbankan[5]. Kredit juga berfungsi sebagai[6]:
1. meningkatkan daya guna uang,
2. meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang,
3. meningkatkan daya guna dan peredaran barang,
4. sebagai alat stabilitas ekonomi,
5. meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat.
Unsur-Unsur Dan Pengertian Mengenai Perkreditan
Yang menjadi unsur dari kredit adalah[7]:
1. kepercayaan, yaitu keyakinan dari kreditur bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, dan jasa akan benar-benar diterima kembali
2. adanya tenggang waktu, yaitu masa yang memisahkan antara saat pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3. adanya degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya tenggang waktu.
4. prestasi, yaitu objek kredit baik berbentuk uang maupun barang atau jasa. Namun pemberian kredit saat ini banyak ditemukan hanya pemberian kredit yang menyangkut uang.
Unsur diatas kita hanya melihat pengertian kredit dalam arti sempit. Sedang dalam arti yang luas kita akan melihat Usaha kredit tidak hanya terbatas merupakan suatu kegiatan peminjaman kepada nasabah, namun menyangkut keterkaitan dengan sumber dana kredit, alokasi dana, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan perkreditan, dokumentasi dan administrasi perkreditan, pengawasan perkreditan dan juga penyelesaian kredit bermasalah.
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga[8]. Berdasarkan pasal tersebut terdapat beberapa unsur perjanjian kredit yaitu :
1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu;
2. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
3. Terdapat kewajiban pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktru tertentu;
4. Pelunasan utang yang disertai dengan bunga.
Unsur pertama dari perjanjian Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu; uang di sini seiogianya ditafsirkan sebagai sejumlah dana (tunai dan saldo rekening giro) baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Dalam pengertian “penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu” adalah cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang (factoring) dan pengambilalihan (pembelian) kredit atau piutang dari pihak lain seperti negosiasi hasil ekspor.
Unsur kedua dari perjanjian kredit adalah persetujuan atau kesepakatan antara bank dan debitur. Sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, agar suatu perjanjian menjadi sah diperlukan empat syarat, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, terdapat obyek tertentu dan ada suatu kausa (cause) yang halal. Selain kesepakatan antara debitur dan kreditur juga diperlukan ketiga
syarat lain tersebut di atas sebagai dasar untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian.
Unsur ketiga dari perjanjian kredit adalah adanya kewajiban debitur untuk mengembalikan jumlah keseluruhan kredit yang dipinjam kepada kreditur dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya hubungan pinjam meminjam antara debitur dan kreditur.
Unsur yang terakhir adalah adanya pengenaan bunga terhadap kredit yang dipinjamkan. Bunga merupakan nilai tambah yang diterima kreditur dari debitur atas sejumlah uang yang dipinjamkan kepada debitur.

C. Manajemen Risiko Pemberian Kredit Sebagai Upaya Penanganan Risiko Pemberian Kredit
Pemberian kredit tidak dapat dengan hanya percaya, namun juga harus disertai dengan cara didalam melakukan manajemen risiko kredit, Kasus Sub Prime Mortage yang terjadi di Amerika Serikat merupakan salah satu contoh kegagalan dalam melakukan manajemen risiko kredit dan kegagalan dalam penerapan prinsip kehati-hatian. Kegagalan ini terjadi karena Amerika Serikat pada tahun 2001-2004 mengambil kebijakan penerapan suku bunga bank central yang rendah pada posisi 1-1,75 persen[9]. Sehingga pemberian kredit perumahan mengalami masa-masa emasnya. Sayangnya pihak mortage lenders mengenyampingkan prinsip 5 C (Character, Collateral, capacity, capital dan condition of economic) dalam memberikan kreditnya dengan pandangan bila gagal bayar lender tinggal melakukan penyitaan dan menjual kembali rumah yang dikreditkannya. Dan untuk mendanai kredit tersebut, Lender pada umumnya meminjam pada pihak lain dananya sebagai pinjaman jangka pendek sedangkan kredit yang diterbitkan lender adalah pinjaman jangka panjang. sehingga pada pertengahan 2004, bank central Amerika Serikat meningkatkan tingkat suku bunga hingga pada agustus 2007 tingkat suku bunga menjadi 5,25%[10]. Kenaikan ini mengakibatkan terjadinya gagal bayar secara besar-besaran pada kredit perumahan, sehingga lender pun gagal membayar hutangnya kepada pihak ketiga, merupakan salah satu contoh kasus betapa pentingnya dan betapa besarnya risiko yang ditimbulkan dari pemberian kredit.
Sebelum kita membahas mengenai manajemen risiko kredit, maka kita terlebih dahulu akan melihat pengertian risiko dari kredit (Credit Risk). Resiko kredit adalah suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya.
Risiko kredit merupakan risiko yang paling signifikan dari semua risiko yang menyebabkan kerugian potensial. Risiko kredit adalah risiko yang terjadi karena kegagalan debitur, yang menyebabkan tak terpenuhinya kewajiban untuk membayar hutang. Secara garis besar, risiko kredit dapat dibagi menjadi 3 (tiga)[11]: risiko default, risiko exposure, dan risiko recovery. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas Bank, antara lain: pemberian kredit, transaksi derivatif, perdagangan instrumen keuangan, serta aktivitas Bank yang lain, termasuk yang tercatat dalam banking book maupun trading book.
Joel Bessis menyatakan, Manajemen risiko kredit mencakup dua hal, yaitu risiko proses putusan kredit, sebelum putusan dibuat sampai menindaklanjuti komitmen kredit, ditambah risiko pemantauan dan proses laporan. Selanjutnya diperlukan pengukuran dari risiko kredit, antara lain menggunakan : limit systems and credit screening, risk quality and ratings, serta credit enhancement[12]. Sedangkan menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia), dinyatakan bahwa proses Manajemen Risiko Bank sekurang-kurangnya mencakup pendekatan pengukuran dan penilaian risiko, struktur limit dan pedoman serta parameter pengelolaan risiko, sistim informasi manajemen dan pelaporannya, serta evaluasi dan kaji ulang manajemen[13]. Bank perlu melakukan manajemen terhadap risiko kredit yang melekat pada seluruh portofolio, yaitu dengan mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan modal yang tersedia cukup, dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul.
Stanley Fisher, menyatakan pengukuran diperlukan untuk memperbaiki manajemen risiko dan mengurangi vulnerability, yang harus dilakukan sebagai bagian penting dalam strategi regional jangka panjang. Kehati-hatian dan pengawasan sistem diperlukan agar dapat bertindak cepat dalam mengantisipasi pertumbuhan pasar yang cepat.[14] Sehingga bila aturan dasar mengenai manajemen risiko pemberian kredit ini dilaksanakan dengan baik, diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan timbulnya risiko kredit.
D. Regulasi Bank Indonesia Mengenai Pemberian Kredit Perbankan
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.
UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Beberapa regulasi dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai:
Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum,
Pada umumnya bank dalam melakukan kegiatan usahanya terutama menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan pada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas-azas perkreditan yang sehat guna melindungi dan Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :
· prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
· organisasi dan manajemen perkreditan;
· kebijakan persetujuan kredit;
· dokumentasi dan administrasi kredit;
· pengawasan kredit;
· penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah disusun secara konsekuen dan konsisten.
Batas Maksimal Pemberian Kredit,
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran (diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenaldengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan dasar pengaturan dalam UU Perbankan. Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut, BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.
Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu.
Penilaian Kualitas Aktiva,
Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional pada saat ini maupun di waktu yang akan datang masih tetap dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola secara efektif akan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak efektif antara lain disebabkan kelemahan dalam penerapan kebijakan dan prosedur penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan dalam mengelola portofolio aset bank, serta kelemahan dalam mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas penyediaan dana.
Untuk memelihara kelangsungan usahanya, bank perlu meminimalkan potensi kerugian atas penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, pengurus bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait dengan transaksi-transaksi tersebut. Hal di atas diatur dalam PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI tersebut mewajibkan bank (dalam hal ini Direksi) untuk menilai, memantau dan mangambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva (meliputi Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif) senantiasa baik.
Sistem Informasi Debitur,
Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan dapat dicapai apabila didukung oleh sistem informasi yang utuh dan komprehensif mengenai profil dan kondisi debitur, terutama debitur yang sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses kredit, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dapat mendukung percepatan proses analisa dan pengambilan keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan manajemen risiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur. Selain itu tersedianya informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitur di antara bank pelapor.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia mengembangkan sistem informasi debitur yang dari waktu ke waktu selalu disempurnakan untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.
Ketentuan mengenai sistem informasi debitur tersebut diatur dalam PBI No. 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur. Berdasarkan ketentuan PBI tersebut, bank umum, penyelenggara kartu kredit selain bank dan BPR yang memiliki total aset Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih wajib menyampaikan laporan debitur kepada Bank Indonesia setiap bulan meliputi informasi mengenai debitur, pengurus dan pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin dan laporan keuangan debitur (bagi debitur yang merupakan nasabah perusahaan atau badan yang menerima penyediaan dana Rp 5.000.000.000,00 atau lebih).
Sementara, Lembaga Keuangan Bukan Bank (antara lain meliputi asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan) dan BPR yang memiliki total aset kurang dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat menjadi pelapor dalam Sistem Informasi Debitur dengan menandatangani surat pernyataan keikutsertaan anggota.
Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan dapat meminta informasi debitur kepada Bank Indonesia meliputi antara lain identitas debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas penyediaan dana yang diterima debitur, agunan, penjamin dan atau kolektibilitas. Informasi yang diperoleh pelapor tersebut hanya dapat digunakan untuk keperluan pelapor dalam rangka penerapan manajemen risiko, kelancaran proses penyediaan dana, dan atau identifikasi kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku. Serta batasan-batasan lain yang dilakukan oleh pemerintah dan bank indonesia.




E. Kesimpulan
Diantara kegiatan perbankan yang dilakukan oleh bank umum, maka kredit lah yang merupakan kegiatan perbankan yang paling berisiko, karena merupakan kegiatan usaha yang paling utama dan merupakan sumber pendapatan terbesar dari seluruh kegiatan bank yang lain dengan mendapatkan bunga serta provisi. Dan kegiatan kredit memiliki risiko yang berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha perbankan itu sendiri.
Manajemen risiko pemberian kredit merupakan salah satu mekanisme yang dapat dilakukan oleh bank umum didalam maminimalisir kemungkinan timbulnya risiko akibat pemberian kredit.
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.










Daftar Pustaka

Best Philip, Impementing Value at Risk. West Sussex; John Wiley & Sons LTD, 1998
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra aditya bakti, Bandung; 2003
Fisher S, Risk Management in Top Priority in Bank Restructuring, Boston Counsulting, Jakarta 2001
Ramlan Ginting, Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum, disampaikan dalam diskusi hukum perbankan di Bandung 2005
Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta 1990

Undang-Undang Dan Peraturan Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur
Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum
[1] Lihat penjelasan pasal 6 UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan
[2] Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra aditya bakti, Bandung; 2003, hlm 287
[3] Ibid,
[4] Ibid, hlm 365
[5] Ramlan Ginting, Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum, disampaikan dalam diskusi hukum perbankan di Bandung 2005
[6] Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta 1990, hal. 14-16
[7] Ibid, hlm 12-13
[8] Lihat pasal 1 angka 11 undang undang perbankan
[9] Kompas 3 Oktober 2008, “Subprime Mortage dan Bailout”
[10] Ibid,
[11] Thomas Suyatno, ,loc cit, hlm 24
[12] Best Philip, Impementing Value at Risk. West Sussex; John Wiley & Sons LTD, 1998
[13] Peraturan Bank Indonesia No5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
[14] Fisher S, Risk Management in Top Priority in Bank Restructuring, Boston Counsulting, Jakarta 2001

Jumat, 31 Oktober 2008

Undang-Undang pornografi dilema sekali ya

saya sedikit tertegun mengenai masalah ini, masalah syahwat yang satu ini dikaitkan dengan unifikasi bangsa. dan ini bukan hanya masalah persatuan dan kesatuan bangsa aja sih. dari sisi pelaku seni dan masyarakat budaya ini sangat berkaitan dengan pendapatan mereka sehingga bisa kita golongkan sebagai massa yang kontra UUP berdasarkan industrilisasi yang juga sangat erat kaitannya dengan cita-cita negara indonesia yang sejahtera...

kalo dilihat dari teori undang-undang yang baik, maka kita akan melihat landasan sosiologis, landasan yuridis, dan landasan filosofis dari UUP.
maka kita bisa lihat bahwa cita-cita UUP ini sangat baik.

tapi klo saya sebagai masyarakat yg syahwatnya tersalurkan dan tidak terlalu peduli dengan berita ketelanjangan, maka saya akan mendukung lah UUP...jadi siapa lagi yang mendukung UUP

Rabu, 30 Juli 2008

Capres tua atw capres muda

celotehan ini di inspirasikan oleh Acara debat di tv one rabu 30 juli 2008.
debat hari ini bertema ttg Cappres tua atw cappres muda. dan debater nya dari Partai Demokrasi Indonesia perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera.

setelah menonton banyak hal yg timbul dipikiran saya mengenai tema debat ini, sehingga saya menanggapinya dengan beberapa hal:
  1. melihat pada sejarah, maka kita akan melihat kenyataan bahwa banyak pemimpin besar dunia yg mulai memimpin suatu bangsa di usia yang muda. kita ambil beberapa contoh: Rasullah Muhammad SWA memimpin di usia 40 tahun, Ir. Soekarno di usia 44 tahun, Napoleon Bonaparte di usia 35 tahun, HM Soeharto di usia 46 tahun, John F Kennedy di usia 44 tahun. dan masih banyak lagi tokoh2 besar yg memimpin di usia muda. bahkan seorang adolf hitler berkuasa di usai 45 tahun.
  2. melihat dari sisi geografis, maka luas NKRI memiiki luas sebesar 1.919.440 kilometer persegi dan jumlah penduduk yg berkisar dari 238 juta orang.
  3. bila pemimpin yg pernah memimpin namun gagal yg memimpin, mengapa bukan Seorang Pak Harto atau Bung Karno saja. atau seorang bapak BJ Habibie saja yg banyak membawa perubahan yg kita mohonkan menjadi pemimpin?

bila kita hanya berkaca pada 3 hal itu maka kita secara singkat akan berfikiran bahwa pemimpin yg pantas memimpin bangsa ini ada lah orang muda.

tetapi bangsa ini bukan hanya akan dibangun berdasarkan sejarah maupun luas wilayah. sehingga sangat tidak pantas kita mendiskriminasikan orang tua untuk tidak memimpin. karena pemimpin yg baik itu bukan masalah orang tua atau muda tetapi sangat dibutuhkan politisi yg amatir terhadap negeri ini yg dapat membangun bangsa ini. mengapa seorang amatir karena hanya orang amatir sajalah yg mencintai pekerjaannya dan bila pemimpin itu telah menjadi profesional maka ia akan menganggap pekerjaannya menjadi ladang mencari uang untuknya. sehingga saya dapat menyatakan bahwa saya rindu pemimpin amatiran yg mampu memimpin bangsa ini.

Prolog

Selamat datang di blog saya. blog ini akan berisi mengenai hal-hal yg ada didalam pemikiran saya mengenai hidup, bangsa, dan negara ini...
saya akui kita tidak harus selalu sepaham mengenai pendapat kita, setidaknya ini lah pendapat saya mengenai hal ini.
selamat menikmati dan selamat mengomentari....