Senin, 24 November 2008

sekilas mengenai hukum acara peradilan tata usaha negara


Kedudukan peradilan tata usaha Negara berdasarkan pada pasal 10 Undang-Undang No.14 tahun 1970 mengenai pokok-pokok kekuasaan kehakiman (sekarang telah direvisi dengan UU No.4 tahun 2004) mengenai sistem peradilan yang ada di Indonesia. Secara sejarahbahwapada tahun 1964 bahwa kedudukan peradilan tata usaha Negara samadengan peradilan lainnya dimana dengan lahirnya Undang-undang No.4 tahun 1986 terjadi masa transisi artinnya masa sebelum tahun 1986 sebelum adanya peradilan administrasi Negara yang baru ada lembaganya sekitar tahun 1986 setelahadanya undang-undang tersebut, sehingga barulah peradilan tersebut dapat berjalan efektif dilakukan dimasa itu. Objek dari peradilan itu sendiri merupakan objekhukum administrasi Negara dimana keuinikannya dari peradilan tatausaha Negara bahwa adanya hubungan yang vertical dimana adanya posisi penguasa dan rakyat yang artinya danya ketidaksederajatan atau ketidakpuasan diantaranya atau salah satu pihak.
Terkait dengan lahirnya paham welfare state atau Negara kesejahteraan, secara sederhana memposisikan adanya suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Negara pada masyarakat. Paham itu selalu memposisikan apa yang harus masyarakat berikan itu demikian maksimal dan tidak terbatas, karena masyarakat itu sealu berubah-ubah posisi, masyarakat itu tetap tidak tetap sehingga deskripsi terhadap keinginannya harus medekati deskripsi apa yang masyarakat butuhkan. Akibatnya jika tuntutan yang sedemikian besar yang diajukan pemerintah. Maka pemerintah wajib melayani masyarakat. Bila kita melihat pada pertimbangan UU No.5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera,aman, tentram serta tertib, yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur dibidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat. Atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa Negara seharusnya menjamin kesejahteraan, keamanan dan ketertiban dimasyarakat dan dengan salah satu upayanya adalah dengan menciptakan suatu perangkat yang dapat mengatur agar terciptanya dan terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras diantara aparatur Negara dengan masyarakat Indonesia. Dan dapat kita lihat bahwa suatu keadaan dimana masyarakat menggantungkan semua harapan pada pemerintah,maka masyarakat juga harus memberikan keleluasaan yang sebesar-besarnya kepada pemerintah. Dan pada kondisi seperti ini, menurut Sjachan Basah, posisi undang-undang itu sesuatu yang harus dilaksanakan tidak hanya oleh pemerintah tetapi oleh masyarakat itu sendiri. Dimana pemerintah sebagi konseptor pembanguna dalam konteks regulasi dan sebagai penyelenggaranya dimana masyarakat itu juga harus ikut terlibat, tunduk dan harus terima jika perlu dengan banyaknya perangkat peraturan.
Bila kita melihat pertimbangan kedua pada Undang-Undang No.8 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa
“bahwa dalam mewujudkan tatakehidupan tersebut, dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional yang bertahap, diusahakan untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur dibidang Tata Usaha Negara, agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat.”
Undang-Undang yang juga dapat dikatakan sebagai seperangkat peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang bertujuan didalam:
pembinaan aparatur negara
penertiban aparatur negara
penyempurnaan aparatur Negara.
Peraturan ini dapat mewujudkan tujuannya tersebut bila ditunjang dengan lembaga peradilan yang kuat sehingga peradilan tersebut dapat menembus batasan antara eksekutif dan legislative.dan bila kita melihat pada teori Montesque hanya akan menciptakan bentuk yang formal saja
Bila kita melihat pada pertimbangan ketiga dari Undang-Undang No.8 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
“bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan suatu kondisi sehingga setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada kemungkinan timbul benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan warga Negara masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional”
Berdasarkan pertimbangan diatas dapat kita lihat bahwa undang-undang ini pun mengakui akan terjadinya perselisihan-perselisihan yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara para pejabat tata usaha Negara dan menganggap bahwa perselisihan sebagai penghambat jalannya kebijakan pemerintah itu sendiri.selain merugikan masyarakat.
Undang-undang sebagai bentuk perwujudan dari bentuk peraturan yang memiliki maksud agar masyarakat menerima kebijakan pemerintah sehingga terciptanya suasana yang kondusif dengan segala mekanisme, kebijakan pemrintah adalah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan Negara. Dan adanya undang-undang serta didukung dengan adanya badan peradilan tata usaha Negara ditujukan untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum pada saat terjadinya sengketa antara badan pemerintah dan masyarakat.
Menurut Sjahran Basah menyebutkan bahwa peraturan Tata Usaha Negara itu memiliki panca fungsi, yaitu:
Fungsi Directive
Menurut teori fungsi directive ini peraturan Tata Usaha Negara diposisikan sebagai pengarah untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan kehendak dari Negara sehingga menurut teori ini bahwa peraturan tersebutakan menciptakan suatu keadaan yang kondusif agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat diterima oleh masyarakat.
Fungsi Integratif
Menurut teori fungsi integrative ini peraturan Tata Usaha Negara dipandang atau diharapkan dapat berperan sebagai Pembina kesatuan bangsa sehingga menciptakan posisi-posisi tertentu yang harus menjadi prioritas dalam rangka pengukuhan ikatan persatuan nasional


Fungsi Stabilitas
Menurut teori fungsi stabilitas ini peraturan Tata Usaha Negara dianggap atau diharapkan sebagai alat yang dapat menjaga keselarasan atau keserasian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga dapat mendukung terlaksananya atau tercapainya tujuan dari Negara,
Fungsi perfective
Menurut teori fungsi perfective ini, peraturan Tata Usaha Negara dianggap atatu diharapkan sebagai penyempurna tindakan-tindakan para pejabat administrasi Negara dan sikap tindak warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
fungsi corrective
menurut teori fungsi corrective ini, peraturan Tata Usaha Negara dianggap sebagai suatu alat yang dapat dijadikan sarana pemeriksaan tindakan dari warga Negara maupun tindakan dari administrasi Negara didalam menjalankan kewenangannya didalam rangka pencapaian dari tujuan Negara.
Disamping kelima teori diatas yang menggambarkan mengenai fungsi dari peraturan Tata Usaha Negara, maka juga haruslah ditunjang dengan suatu lembaga peradilan yang baik pula.
Suatu Negara yang menginginkan peradilan yang berkualitas baik, yang diterima oleh lapisan-lapisan masyarakat yang luas, harus didasarkan undang-undang dasar dan pereundang-undangan yangdijadikan dasar itu, sejumlah jaminan. Dan cirri khas yang paling pokok dari kedudukan para hakim adalah ketidaktergantungan mereka.tida ada badan Negara satupun, maupun pembuat undang-undang atau suatu badan pemerintah, yang berwenagan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada seorang hakim dalam suatu perkara yang kongkrit atau mempengaruhi secara berlainan terhadap putusan dari perkara tersebut.
Hakim memutuskan sendiri, memberi interpretasi sendiri atas kewenangannya sendiri, dan tidak terikat pada hukum. Seorang hakim tidak hanya tergantung kepada siapapun, namun dia juga tidak berpihak. Dia tidak boleh berlandaskan dasar-dasar yang tidak termasuk dalam hukum yang menguntungkan salah satu pihak yang tersangkut pada persengketaan yang dihadapkan kepadanya. Dia juga tidak boleh mengutamakan kepentingan-kepentingan ataupun pendirian-pendirian politik dan sosial dari dia sendiri dalam keputusan-keputusannya. Selaknya, pertam-tama dia harus mengarah kepada teks undang-undang dan kemudian pada penjelasan dan interpretasi dari undang-undang itu mencari hubungan pada tujuan-tujuan pembuat undang-undang dan pada keyakinan-keyakinan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu untuk suatu peradilan yang baik sangatlah dibutuhkan adanya:
hakim-hakim yang berkualitas baik. Dengan adanya seleksi dan penggajian adalah penting sekali
kemungkinan bagi si warga untuk selalu mempunyai jalan atau meminta antuan kepada seorang hakim.
pemutusan dalam persengketaan itu dalam waktu yang wajar.
penetapan suatu hukum acara yang baik, yang mana dasar-dasar tata acara yang elementer telah ditentukan
kemungkinan-kemungkinan naik banding dan atau kasasi, untuk memperbaiki kesalahsan-kesalahn yang mungkin ada dari hakim-hakim rendahan kepada yang lebih tinggi
jaminan-jaminan bahwa keputusan para hakim juga sungguh-sungguh dilaksanakan.



Sumber:
Catatan perkuliahan.
Undang-Undang No.8 tahun1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara
Pengantar Hukum Administrasi Negara, Philipus M. Hadjon
Eksitensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Sachran Basah


Tidak ada komentar: